Wednesday, January 11, 2017

RENUNGAN UNTUK WAJAH PENDIDIKAN, DI NEGERI TERCINTA

http://22cerminkehidupan.blogspot.com/2017/01/renungan-untuk-wajah-pendidikan-di.html
pendidikan memang suatu hal yang sama sekali tidak tabu dalam kancah sosial masyarakat apalagi dalam telinga mahasiswa dan corong-corong para penguasa.
idealnya pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana, sebagaimana untuk menanamkan budi pekerti yang kuhur sehingga menghasilkan manusia yang mampu untuk memanusiakan manusia.
lantas, bagaimana jadinya ketika realitas berbicara lain. seakan akan mengaca dibalik cermin, yang tidak jelas wajah pendidikan di indonesia ini. tidak ada bidanya dan tidak jauh beda, yang namanya pendidikan dengan proyek penghasil uang, pendidikan dengan komponen politisi yang terus mempolitisir dan memeras sari-sari masyarakat yang kurang mampu sebagaimana sapi perah.
sangat tidak sedikit lembaga pendidikan yang berwajahkan kapitalis. korporasi, pemerasan dan penindasan terus merajalela. bahkan, pihak penegak hukum pun ikut bekerja sama untuk memeras sari-sari masyarakat miskin, agar semakin lancar untuk mencairkan dan menghasilkan dana/uang.
perencanaan mengajar yang tidak jelas, KBM yang hanya sekedar formalitas dijadikan alas untuk melanggengkan stabilitas gaji para guru yang tidak mau melihat dan bertanggung jwab atas perkembangan siswa dalam kelas maupun diluar kelas. "yang penting duwit terus mengalir deras" kata bandit-bandit pendidikan.
pemerintah yang sudah menganggarkan dana pendidikan yang begitu besar, lebih dari Rp 419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja negara Rp 2095,7 triliun. Hal tersebut pun sudah sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan. subhanalloh..... sungguh sangat baik dan bijak pemerintah, mungkin beliau memandang begitu pentingnya pendidikan itu.
tapi sangat mengherankan juga, ketika dilendinkan program gratis belajar yang katanya sudah lama terlaksana, mengapa masih ada dana atau biaya infaq untuk sekolahan (masih ada saja lembaga yang demikian), katanya sudah dihapuskan yang namanya buku LKS atau di gratiskan, akan tetapi kenapa masih ada yang mengharuskan membeli buku tersebut. sehingga, siswa yang kurang mampu tidak memiliki buku tersebut (tidak terfasilitasi dengan semestinya). pertanyaan yang mendasar, sebenarnya yang memiliki problem atau konsleting itu pihak pengolah lembaga atau pengamatnya, atau mungkin pendidik yang menyalahkan siswanya dikarenakan tidak mampu membeli kebutuhannya(siswa). atau mereka (pendidik dan pengawas dll) sama-sama kompromi. aneh kan..
bagaimana indonesia mau maju, ketika jantung intelektual sudah tidak sehat lagi atau cacat.
bagaimana peserta didik menjadi pintar, ketika sarinya terus diperas
merdeka yang mana kalau di indonesia, khususnya di lembaga pendidikan masih ada penindasan yang terus berkelanjutan

No comments:

Post a Comment