http://22cerminkehidupan.blogspot.com/2017/01/renungan-untuk-wajah-pendidikan-di.html
pendidikan memang suatu hal yang sama sekali tidak tabu dalam kancah
sosial masyarakat apalagi dalam telinga mahasiswa dan corong-corong para
penguasa.
idealnya pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana, sebagaimana untuk menanamkan budi pekerti yang kuhur sehingga
menghasilkan manusia yang mampu untuk memanusiakan manusia.
lantas,
bagaimana jadinya ketika realitas berbicara lain. seakan akan mengaca
dibalik cermin, yang tidak jelas wajah pendidikan di indonesia ini.
tidak ada bidanya dan tidak jauh beda, yang namanya pendidikan dengan
proyek penghasil uang, pendidikan dengan komponen politisi yang terus
mempolitisir dan memeras sari-sari masyarakat yang kurang mampu
sebagaimana sapi perah.
sangat tidak sedikit lembaga pendidikan
yang berwajahkan kapitalis. korporasi, pemerasan dan penindasan terus
merajalela. bahkan, pihak penegak hukum pun ikut bekerja sama untuk
memeras sari-sari masyarakat miskin, agar semakin lancar untuk
mencairkan dan menghasilkan dana/uang.
perencanaan mengajar yang
tidak jelas, KBM yang hanya sekedar formalitas dijadikan alas untuk
melanggengkan stabilitas gaji para guru yang tidak mau melihat dan
bertanggung jwab atas perkembangan siswa dalam kelas maupun diluar
kelas. "yang penting duwit terus mengalir deras" kata bandit-bandit
pendidikan.
pemerintah yang sudah menganggarkan dana pendidikan
yang begitu besar, lebih dari Rp 419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja negara Rp 2095,7 triliun. Hal tersebut pun sudah sesuai dengan
Undang-Undang Pendidikan. subhanalloh..... sungguh sangat baik dan bijak
pemerintah, mungkin beliau memandang begitu pentingnya pendidikan itu.
tapi
sangat mengherankan juga, ketika dilendinkan program gratis belajar
yang katanya sudah lama terlaksana, mengapa masih ada dana atau biaya
infaq untuk sekolahan (masih ada saja lembaga yang demikian), katanya
sudah dihapuskan yang namanya buku LKS atau di gratiskan, akan tetapi
kenapa masih ada yang mengharuskan membeli buku tersebut. sehingga,
siswa yang kurang mampu tidak memiliki buku tersebut (tidak
terfasilitasi dengan semestinya). pertanyaan yang mendasar, sebenarnya
yang memiliki problem atau konsleting itu pihak pengolah lembaga atau
pengamatnya, atau mungkin pendidik yang menyalahkan siswanya dikarenakan
tidak mampu membeli kebutuhannya(siswa). atau mereka (pendidik dan
pengawas dll) sama-sama kompromi. aneh kan..
bagaimana indonesia mau maju, ketika jantung intelektual sudah tidak sehat lagi atau cacat.
bagaimana peserta didik menjadi pintar, ketika sarinya terus diperas
merdeka yang mana kalau di indonesia, khususnya di lembaga pendidikan masih ada penindasan yang terus berkelanjutan
No comments:
Post a Comment